Monday, September 30, 2013

Good Memories by Lia Indra Andriana




 Judul                     : Good Memories
Pengarang           : Lia Indra Andriana
Penerbit               : Haru
Tahun                   : 2013
ISBN                     : 9786027742222
Halaman              : 336
Rating                  : 4 of 5 stars
 


Biasanya bersekolah ke luar negeri adalah impian semua orang. Tapi beda bagi Maya. Walaupun dulu ia emang niat banget mau sekolah ke luar negeri, tetapi sejak pacaran niatnya tersebut hilang. Mana enak kuliah di Seoul sementara dari si jantung hati jauh di kampung halaman sana? Apalagi si pacar juga dengan gamblang bilangin kalo dia ga suka pacaran jarak jauh. Mati-matian Maya berusaha mempertahankan hubungannya dengan Alva, si kekasih.

Ketika kemudian Maya tinggal kelas, dengan bahagia ia mengirimkan hasil ujiannya pulang. Kalau Papa melihat hasil ujiannya ini, ia pasti di panggil pulang. Tapi ternyata Papa tetap ngotot. Maya tidak boleh pulang dari Korea sebelum menyelesaikan kuliah S1-nya.

Gambar ambil disini
Di kelas barunya Maya bertemu dengan Luc, si cowok Prancis yang ganteng. Dari awal Luc sudah tertarik kepada Maya. Sikap Maya yang terang-terangan membuat ia terpikat. Walaupun tahu Maya sudah punya pacar, Luc tetap tidak bisa menghilangkan perasaan sukanya. Apalagi ketika ia merasa kalau Alva sama sekali tidak menghargai Maya.

Yang paling saya sukai dari buku ini adalah konsep membuat kenangan indahnya. Mengingatkan saya akan penyesalan karena tidak mengabadikan beberapa kenangan yang mungkin tidak terulang kembali. Sekarang hanya ada dalam ingatan, kadang samar tapi kadang terkilas tajam.

Selain itu yang menarik adalah tokoh Maya. Cewek yang menurut saya sedikit keras kepada dan ada unsur-unsur manja dan naif ini berhasil membuat saya ngakak. Apalagi saat tragedi kartu kredit yang diblokir itu. Serius, ga nyangka kata-kata itu akan keluar dari mulut Maya.

Gambar ambil disini
Sedangkan Luc pas sekali dengan image saya sebagai orang Prancis. Tampan, romantis, sedikit flamboyan dan sangat tidak malu-malu mengungkapkan affairnya dengan make-up. Kegigihannya dalam mendekati Maya juga patut diacungi jempol walau kadang rasanya Luc terlalu sabar dalam menghadapi Maya.

Biasanya dalam satu buku itu ada tokoh yang kurang disukai atau dibenci. Dan predikat itu dengan sukses disandang oleh Alva. Saya sedikit tidak setuju dibagian akhir dimana Maya menggambarkan bahwa dibalik sifat menjengkelkannya, Alva sebenarnya adalah orang yang baik.

Menurut saya, saat seseorang memutuskan berhubungan dengan orang lain untuk menyelamatkan keluarganya, setidak ia mempunyai sedikit harga diri untuk berbuat yang terbaik bagi hubungan tersebut.

Plot cerita sebenarnya biasa saja, tapi karena karakter Maya dan Luc yang berkesan ditambah dukungan karakter-karakter teman-teman di kelas bahasa membuat cerita ini menarik untuk diikuti. Jalan cerita lumayan cepat walaupun ada bagian yang sedikit bikin pikiran saya melayang  seperti saat Maya yang gigih nyari kerja sampingan.

Oh ya, bagian yang paling menarik itu adalah Kwanghan University yang terasa sangat real. Apalagi dilengkapi dengan denah universitas dan keterangan gedung-gedungnya serta gambar dan keterangan mengenai iHouse dan dapur iHouse. Kedua tempat ini merupakan lokasi utama dari cerita. Selain itu aura Korea-nya terasa sangat real, tidak seperti tempelan pada beberapa novel Indonesia bersetting Korea yang pernah saya baca.

Gambar ambil disini
Ini buku Lia Indra Andriani yang pertama yang saya baca. Dan setelah cek di goodreads ternyata buku yang diterbitkannya telah lumayan banyak. Jadi pengen membaca buku-buku karyanya yang lain.



Thursday, September 12, 2013

Wandeuk by Kim Rye-ryeong


Judul                     : Wandeuk
Pengarang           : Kim Rye-ryeong
Penerbit               : Bentang Belia
Tahun                   : 2012
ISBN                     : 9786029397246
Halaman              : 254


Sebenarnya Wandeuk tidak suka berkelahi. Malah ia tidak ingin diperhatikan oleh banyak orang. Tapi dengan postur tubuh besar dan sikap diam yang sering dianggap mengancam, Wandeuk malah dilabeli sebagai preman di lingkungan dan juga di sekolahnya. Dan karena sifatnya yang juga tidak suka diejek, kaki dan tangannya pun akhirnya sering melayang menghajar orang-orang yang mengejeknya.

Tapi yang paling membuatnya jengkel itu adalah Pak Guru Ddongju, wali kelasnya. Hampir setiap hari pak guru memanggilnya untuk menjawab pertanyaan atau hanya untuk mengolok-oloknya. Belum lagi ia memasukkan Wandeuk kedalam daftar penerima bantuan untuk orang miskin dan kemudian meminta jatah berasnya. Yang paling parah adalah saat pak guru pindah rumah ke sebelah rumah Wandeuk. Tidak di rumah, tidak di sekolah pak guru berteriak-teriak memanggil namanya.

Tidak heran Wandeuk jadi sering mendatangi gereja hanya untuk berdoa agar Tuhan segera mencabut nyawa pak guru Ddongju.

Dan yang paling parah, pak guru meminta Wandeuk menemui ibunya, perempuan yang meninggalkan Wandeuk sejak ia masih bayi. Ibu? Sejak kapan Wandeuk punya ibu?

Ini pertamakalinya saya membaca buku hasil karya penulis Korea. Biasanya cuma nonton film atau baca komiknya saja. Dan dari buku ini saya juga bisa merasakan suasana yang biasanya saya dapatkan dari film dan komik tersebut. Jadi tidak susah bagi saya untuk membayangkan adegan-adegan yang berlangsung di buku ini.

Buku ini secara keseluruhan bercerita mengenai kehidupan sehari-hari Wandeuk. Tidak ada percintaan yang menguras air mata atau drama yang berlebihan. Hanya menceritakan hal-hal yang dilalui Wandeuk setiap harinya.

Diawal buku kita dapat merasakan kesendirian Wandeuk yang tidak memiliki teman di sekolah dan selalu pulang ke rumah yang kosong karena ayahnya yang sibuk bekerja sebagai penari kabaret jalanan. Ada sedikit rasa malu di hati Wandeuk atas pekerjaan ayahnya ini, apalagi dengan postur tubuh ayahnya yang pendek sehingga sering ditertawakan orang lain.

Hubungannya dengan ayahnya juga tidak terlalu dekat. Entah mendapat ide darimana ayah Wandeuk ingin Wandeuk menjadi seorang novelis sementara hasil tulisan Wandeuk sering menjadi ejekan pak guru Ddongju. Menjadi penulis bukanlah cita-cita Wandeuk, tapi dengan cukup rajin ia berusaha memenuhi keinginan ayahnya.

Hingga Wakdeuk mengenal dunia kickboxing. Untuk pertama kalinya Wandeuk merasa hidup. Walaupun badannya menjadi pegal dan memar dan gerakannya  masih seperti preman yang sedang berkelahi di jalanan Wandeuk tetap tidak menyerah.

Selain itu, ada juga Jeong Yoonha, gadis peraih peringkat nomor satu di sekolah yang sedang menghadapi skandal percintaan. Tiba-tiba saja Yoonha mengikuti Wandeuk kemana-mana hanya untuk mengeluarkan sesak di dadanya.

Dari buku ini kita melihat perkembangan kehidupan Wandeuk dari yang penuh kesunyian hingga akhirnya diisi dengan hal-hal yang disukai dan orang-orang yang mencintainya. Dan semua itu berkat kegigihan pak guru yang tidak henti-hentinya menarik Wandeuk dari dunia sepinya.

Sebagai buku Korea yang pertama saya baca, buku ini cukup memikat walaupun saya merasa sedikit kurang sreg dengan gaya bahasanya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa gaul yang penuh dengan kata “enggak” atau juga “doang” yang jarang saya temukan di buku-buku lain.

Dan bahasa gaul ini tidak hanya digunakan dalam percakapan antar teman atau narasinya saja yang menggunakan sudut pandang orang pertama (Wandeuk), tetapi juga dalam percakapan para orang tua di buku ini. Hal ini yang menyebabkan saya meragukan bahasa asli yang digunakan adalah bahasa gaul.

Saya tidak tahu apakah di buku  aslinya menggunakan bahasa gaul atau penerjemah/penerbit yang sengaja menerjemahkan seperti ini karena buku ini dikategorikan sebagai bacaannya young adult. Sementara dari film-film dan komik yang saya baca, saya merasakan bahwa orang-orang Korea memiliki bahasa yang sopan dan sedikit kaku.

Mungkin penerbit takut apabila menggunakan bahasa baku buku ini akan kehilangan esens remajanya dan menjadi tidak bisa dinikmati. Sedangkan dalam pemikiran saya penggunaan bahasa baku belum tentu akan menghasilkan kata-kata yang kaku. Betul tidak?

Buku ini memenangkan penghargaan Changbi Prize untuk kategori Young Adult Fiction di tahun 2007 dan telah difilmkan dengan judul Punch. Menurut Wiki, sejak 2008 sampai sekarang buku ini telah terjual lebih dari 700 ribu kopi!


Friday, September 6, 2013

Sketsa Terakhir by Kei Larasati & Vanny PN





Judul                     : Sketsa Terakhir
Pengarang           : Kei Larasati & Vanny PN
Penerbit               : plotpoint
ISBN                     : 9786029481372
Halaman              : 228
Rating                  : 3 of 5 stars


Berkisah tentang Tio dan Drupadi yang sedang bersiap-siap mengurus pernikahan mereka. Tetapi sebuah kemalangan menimpa mereka. Tio yang pingsan saat meeting di kantornya ternyata harus menerima kenyataan pahit bahwa penyakit yang sangat ditakuti ternyata datang juga menghampiri. Penyakit yang juga merenggut nyawa ibunya.

Dan disaat-saat itu, yang terbayang di mata Tio bukanlah Dru, tunangannya, melainkan Rena sahabatnya sejak SMA hingga kuliah. Cinta yang dipendam sejak lama mendesak untuk diluahkan. Tetapi Rena sudah lama menghilang dari kehidupan Tio dan Dru. Terbang memenuhi impiannya sendiri.

Bagi Dru, menjadi pilihan kedua Tio sudah lama diterimanya. Dicobanya membutakan mata, berharap dengan selalu berada disisi laki-laki tersebut akan bisa menggantikan Rena di hati Tio. Tetapi ketika Rena kembali pulang ke Indonesia, sanggupkah ia bertahan?


Dari covernya dimana ditampilkan gambar seorang perempuan yang sedang bercucuran air mata pelangi saya sudah bisa menebak isi buku ini bakal banyak sedihnya. Dan memang perkiraan saya benar. Yang tidak saya harapkan bahwa juga banyak hal yang bikin saya sedikit mengerutkan kening.

Tema cerita di buku ini merupakan salah satu tema favorit saya. Saya sangat suka dengan tema tokoh yang menyimpan cinta terpendam atau bertepuk sebelah tangan dengan sahabatnya sendiri. Jauh lebih suka daripada cinta kilat yang tidak butuh waktu lama untuk saling bertaut. Kurang dalam menurut saya :)

Bahasa yang digunakan juga mudah dimengerti dan mengalir dengan lancar. Sedikit sekali penggunaan bahasa inggris, tidak seperti kebanyakan buku-buku yang beredar saat ini. Dan hal ini menjadi salah satu kelebihan buku ini menurut saya.

Cerita dibawakan dengan cukup sederhana, dengan Tio menjadi pusat utamanya. Tidak ada konflik yang berat ataupun berlarut-larut. Hanya saja ada beberapa hal yang menurut saya bisa diperdalam lagi, seperti hubungan Tio dengan ayahnya ataupun juga penyelesaian hubungan Tio dan Rena yang bagi saya terasa kurang memuaskan.

Walaupun Tio adalah tokoh utama di buku ini, tokoh yang paling menarik bagi saya adalah Martin. Sebagai seorang yang jatuh cinta kepada tunangan sahabatnya sendiri, Martin merupakan tokoh yang patut diacungkan jempol. Kesetiaannya kepada sahabatnya tidak perlu dipertanyakan lagi.

Sementara Dru... Hmm, tadi saya bilang suka cerita tentang cerita cinta bertepuk sebelah tangan kan? Masalahnya Dru bukanlah tokoh yang cukup saya sukai. Kesannya egois dan memaksakan kehendaknya sendiri. Kebiasaannya membutakan mata terhadap perasaan Tio malah membuat saya tidak simpati kepadanya.

Yang pertama kali bikin saya bingung membaca  buku ini adalah perpindahan antara Prolog dan Bab Satu. Di akhir prolog diceritakan pikiran si nenek yang terhanyut kembali ke bayangan kekasih yang dicintainya. Dan ketika saya pindah ke bab satu benak saya langsung mengurangi waktu sekitar 30 tahun untuk kembali ke masa muda si nenek. Jadinya saya membayangkan Tio di pemakaman Tanah Kusir dalam adegan hitam putih karena hasil pengurangan saya adalah 1983 (masih bertahun-tahun kemudian TV dirumah saya diganti jadi TV warna).

Alhasil saya bengong dong waktu ponsel Tio berdering... bolak-balik saya telusuri enam halaman antara prolog dan bab satu buat nyari settingan waktunya. Manakah yang dimasa sekarang dan manakah yang dimasa lalu? Apakah prolog adalah suatu waktu di masa depan?

Dari segi typo di buku ini tidak terlalu banyak ditemukan. Tapi ada satu bagian (hal.94) dimana adegannya adalah flashback ke masa lalu dan huruf-hurufnya dimiringkan. Masalahnya huruf yang dimiringkan hanya setengah adegan saja, sisanya huruf normal walaupun settingannya masih dimasa lalu, masih di percakapan yang sama dengan huruf yang dimiringkan.

Dan pada halaman 140-141 ada adegan yang hurufnya dimiringkan semua sementara menurut pendapat saya seharusnya menggunakan huruf normal karena timeline-nya masih berhubungan dengan adegan sebelumnya.

Setiap perpindahan adegan di buku ini dibatasi oleh sebuah gambar pensil. Cukup memudahkan pembaca juga dalam mengikutinya karena dalam satu bab bisa terdiri dari beberapa perpindahan adegan ini.

Hanya saja ada satu hal yang saya herankan. Di bab-bab awal dan beberapa bab terakhir ada beberapa perpidahan adegan yang memiliki judul. Contohnya halaman 6 dibagian atas adegan baru tertulis “HAKODATE”. Kemudian paragraf baru dimulai dengan deskripsi Hakodate yang merupakan lokasi Dru yang saat itu sedang berdinas ke Jepang.

Lalu di halaman 10 terjadi lagi perpindahan adegan dengan label  “SUSHI TEI, PLAZA SENAYAN” yang menceritakan suasana makan siang (atau malam?) antara Martin dengan Anna.

Pada seperempat awal buku judul-judul ini hilang timbul tanpa pola (menurut saya), kemudian hilang di hampir setengah buku dan akhirnya muncul lagi di bagian- bagian akhir. Yang jadi pertanyaan saya apakah yang membedakan adegan dengan judul ini dengan adegan-adegan lainnya? Kenapa saat Tio di periksa di RS. Dharmais tidak ada judul adegan berlabel “RUMAH SAKIT DHARMAIS”?

Novel karya Kei Larasati dan Vanny PN ini merupakan salah satu hasil dari Book Project-nya Clara Ng. Dan seperti yang dinyatakan Clara Ng dalam pembuka buku ini “Tiga naskah yang kini telah menjadi buku memang bukan hasil yang sempurna, tapi setidaknya proses ini adalah proses terbaik yang berhasil dilakukan.”

Saya setuju dengan penyataan Clara Ng ini. Menurut saya masih banyak hal-hal yang perlu dibenahi untuk membuat buku ini semakin baik. Yang paling utama adalah penulis harus lebih memperhatikan detail-detail yang ditampilkannya dalam buku.

Mungkinkah perbaikan-perbaikan ini nantinya akan saya temukan di buku Martin? #kodebuatpenulis